Kamis, 19 November 2009

Misteri buku tahunan

Sinopsis Cerpen

Misteri Buku Tahunan

Cerita ini sungguh – sungguh terjadi dan sumpah aku tak akan pernah melupakannya.” Sudah satu bulan aku berada di Jakarta, kota metropolitan impian semua orang. Tapi bagiku kota Jakarta tidak lebih dari sekadar kota yang hiruk pikuk dan penuh polusi. Hari yang kulalui sungguh membosankan. Tidak ada kejadian menarik. Aku tetap belum betah bersekolah di tempat ini. Tidak seperti orang – orang yang kulihat berkerumun dan bergerombol menuju gerbang sekolah. Mereka tampak riang dan bersemangat.

“ Sarah, ngapain lu bengong terus seharian?” Aku tersentak kaget dan mencoba tersenyum.

“ Aku rindu keluarga dan teman – teman di Pekalongan.” Shinta memandangku dengan rasa simpati yang tulus dan sedetik kemudian tangannya memegang pundakku.

“ Yah… berat juga sih rasanya pisah sama keluarga, apalagi untuk jangka waktu yang cukup lama.”

Cukup sudah aku meratapi kesepianku. Life must go on. Betul enggak?

. . .

Hari – hari berikutnya kulalui dengan lebih ringan dan bersemangat. Ternyata menjadi pelajar SMU mengasyikkan. Apalagi ditambah dengan kehadiran cowok misterius yang sering duduk di bawah pohon beringin di bibir lapangan. Cowok itu lama kelamaan membuatku semakin penasaran. Walau susah sekali memberitahu Shinta, sahabat karibku ini. Terkadang aku melihatnya sedang melamun di ruang perpustakaan, matanya tampak kosong, namun ada makna tersirat dari setiap gerakkannya.

. . .

Hari ini aku pulang terlambat, banyak tugas yang harus kuselesaikan di sekolah. Mulai dari membuat mading sampai mencari bahan untuk naskah drama di perpustakaan untuk pementasan bulan depan. Saat berjalan di lorong kelas, tiba – tiba aku melihat cowok yang kukagumi itu berjalan menuruni anak tangga. Tak ku sangka ternyata ia juga belum pulang padahal hari sudah petang.

“ Tunggu sebentar, kita jalan bareng yuk, habis sekolah sudah sepi dan juju raja aku sedikit takut.” Ajakku sedikit malu.

“Ok, aku juga males sendirian, lebih asyik kalo ada temannya.” Kata cowok itu dengan seulas senyum lembutnya.

“Gue Nando kelas tiga IPS.” Bisiknya sambil tersenyum nakal.

“Gue Sarah kelas satu, gue baru aja pindah dari Pekalongan.” Kukumpulkan segenap keberanian untuk menatap matanya yang dingin.

“Wah, dari Pekalongan. Menyenangkan.” Hanya itu yang ia ucapkan. Sejenak suasana beku, kami berjalan tanpa suara.

Mendadak ada sebuah mobil yang menderu kencang menghampiri kami. Apakah hidupku akan berakhir saat ini juga. Sedetik kemudian, aku sudah berada di tepi jalan. Sedan berwarna merah itu tetap saja melaju dengan kencang, seakan – akan kami tidak ada. Cepat – cepat aku menghampirinya.

“ Kamu enggak apa – apa kan?” Aku yakin tangannya terluka. Ia memang terlihat kaget tapi tidak ada rasa kesakitan yang terlukis di wajahnya.

“ Jangan sentuh! Sue enggak apa – apa.” Mukanya pucat saat aku hendak melihat keadaannya. Langsung saja ia berlari meninggalkanku sendirian di pinggir jalan.

. . .

Setelah kejadian itu, aku tidak pernah lagi melihatnya. Aku ingin tahu keadaannya, apakah keadaannya sudah membaik atau belum. Shinta mengajakku ke perpustakaan untuk mencari data – data Nando di buku tahunan dari angkatan sebelumnya.

Saat istirahat, kami pergi ke perpustakaan di lantai tiga gedung utara. Kubuka – buka buku tahunan angkatan kemarin, tapi hasilnya nihil.

“ Kok tidak ada nama dia apalagi fotonya sama sekali tidak ada.” Aku heran sekali. Apakah dia juga murid baru disini? Ah, itu tidak mungkin karena jarang ada anak yang pindah sekolah saat hampir lulus. Cukup lama kami berkutat di antara buku – buku tahunan. Tiba – tiba Shinta menjatuhkan buku tahunan angkatan 1984/1985. Mukany berubah jadi pucat pasi.

“ Sar, Nando itu kelas 3 IPS ya?” Suaranya bergetar dan aku merinding dibuatnya.

“ Ya, kenapa udah ketemu ya?” Tapi Shinta tetap diam saja.

“ Hei, ada apa sih? Jangan sok misterius gitu dong!” Aku makin tidak mengerti dengan sikapnya, kuraih buku tahunan yang sudah usang itu dari lantai. Aku mulai menelusuri tiap huruf dan kata yang ada disana.

Buku tahunan ini kami persembahkan untuk teman kami, Nando Prasojo Setiawan dari kelas 3C / IPS yang telah berpulang ke pangkuan Tuhan Yang Maha Esa akibat kecelakaan mobil pada 2 Juni 1985.

Tak kuat aku menyangga tubuhku. Aku langsung terduduk lemas. Kepalaku pusing dan jantungku seakan berhenti berdetak. Jadi selama ini aku menyukai orang yang sudah meninggal. Pantas saja Shinta tak pernah bisa melihatnya. Ia selalu sendirian, tak pernah bergaul bersama teman – temannya. Kehadirannya seakan tak kelihatan. Saat aku ingin menyentuh lengannya, ia tidak mau bersentuhan denganku pasti karena ia takut jati dirinya terungkap dan mengapa ia menyelamatkanku? Past ia memiliki alas an untuk itu.

“ Mungkin Nando masih ingin menyelesaikan sesuatu di dunia ini.” Ujarku lesu.

“ Mari kita berdoa untuknya agar hatinya tenang dan semoga diterima di sisi-Nya.”

Kami berjalan kembali ke kelas. Nando kalau kau melihatku dari atas sana saat ini, tolong sampaikan salamku untuk kakakku di surga.

Yudith Tesalonika

11107819

3 KA 04

Tidak ada komentar:

Posting Komentar