Selasa, 29 Desember 2009

Jenguk Aku ( Puisi )

Jenguk Aku

Kemana aku harus berteriak meratapi nasibku?

Aku teringkuk malu

Masih adakah yang memperhatikanku?

Aku tak berdaya melihat mereka yang tak mengenalku

Aku lelah menanti mereka kasihan padaku

Namun, dimana tempatku mengadu?

Orang yang dulu dekat, tak lagi mengenalku

Mencoba menyingkirkanku

Apa mereka malu mengadu?

Apa mereka tahu seberapa besar malu itu?

Dimana tempat air mata jatuh meruntuh?

Diriku tak lagi dikenal dirimu

Aku tak sanggup lagi

Aku benar – benar sakit hati

Jenguk aku, teman

Walau hanya tinggal kenangan

Yang sepi dimakan sendiri






Yudith Tesalonika

11107819

3 KA 04

Sinopsis Cerpen Wayang Beber

Sinopsis Cerpen

Wayang Beber

Enam puluh empat tahun bukan waktu yang terlampau singkat untuk berbenah diri. Jika diibaratkan umur manusia, enam puluh empat tahun adalah masa dimana seseorang mencap ai kebijakan klimaks. Ironisnya, perumpamaan ini berbanding terbalik dengan keadaan bangsa kita, Indonesia.

Mungkin Indonesia tak urung berbicara soal kepemilikan, namun mereka berseru tentang historis kebudayaan. Rasanya, pasti berbuih jika seorang menyebutkan satu per satu budaya yang tumbuh dan besar di Indonesia. Bukan semata gerakan tarian, nyanyian alam, atau pun tugu polos peninggalan pra-sejarah, namun kadungan budaya yang tak pernah terlewat setiap noktahnya untuk dimaknai.

Wayang beber. Siapa yang tahu tentang kebudayaan Indonesia ini? Satu orang? Atau mungkin hanya dua. Ya, itulah yang terjadi pada saat ini. Banyak orang yang merasa cukup dengan menyumbangkan suaranya untuk berteriak – teriak di depan gedung DPR. Mereka berkata peduli, mereka bersaksi mengerti, namun mereka tak menggarisbawahi kata beraksi. Entah kegagalan pendidikan atau kesalahpahaman, yang pasti mereka lebih memilih untuk bereaksi dari pada beraksi.

Satu lagi budaya Indonesia yang terlupakan, Wayang Beber. Ironis memang ketika mengetahui wayang ini adalah wayang yang pertama kali di mainkan di Indonesia. Apalagi setelah mendengar bahwa wayang ini terakhir dimainkan pada tahun 1902. Siapa yang menyangka jika ini terjadi pada bangsa kita yang jelas sudah lelah menaggapi “ maling “ kebudayaan. Kita, rakyat Indonesia, seakan enggan memperdulikan kebudayaan kita tanpa keinginan untuk membumikannya kembali. Ini memang letak kelemahan kita, titik dimana kita ternyata tidak lagi menghargai kebudayaan sendiri.

Wayang yang satu ini memang sangat berbeda sekali dengan budaya wayang lainnya yang ada di Indonesia. Budaya yang satu ini dibuat dalam bentuk gambar atau sketsa yang berupa cerita yang dibentuk dengan tekstur arsiran tangan, sehingga bukan lagi berbentuk wayang main seperti wayang golek dan wayang kulit. “Disini pun ada satu pepatah bagi para seniman yaitu sekali menggores, karena haram bagi kami seniman menggunakan penghapus,” ujar Jogumai yang akrab disapa Bang Jo, salah satu pelopor di komunitas Seni Taman Suropati. Cara dalang memainkannya pun sangat berbeda, sang dalang hanya menunjuk bagian – bagian gambar wayang dan bercerita. Tanpa perlu memainkan wayang seperti contohnya wayang golek.

“ Untuk dalangnya sendiri di Indonesia sekarang hanya tersisa satu orang saja, betapa langkanya bukan? Tetapi satu hal yang hebat adalah ketika para seniman jalanan berhasil melahirkan satu orang dalang lagi di Jakarta, dengan teknik pengarsiran gambar yang berbeda dari yang lainnya yaitu menggunakan arsiran benang kusut,” ujar Bang Jo. Dengan ini mengartikan bahwa tak hanya kalangan atas saja yang punya andil yang cukup besar terhadap seni sastra dan kepedulian mereka ternyata bisa lebih besar disbanding kami yang anak kota.

Kita mungkin berperan sesuai profesi. Kita berfikir bahwa kita bisa membawa nama baik bangsa dengan inovasi sesuai tuntutan zaman, namun kita tak pernah bermimpi untuk membawa nama baik bangsa yang lengkap dengan kebudayaannya. Pola pikir ini yang sering menghalangi kita untuk mempertotonkan cirri khas Indonesia di mata dunia Internasional.