Mudik Idul Fitri
Hari yang lain. Meski mentari yang sama bersinar dari ufuk timur, merona sinarnya begitu cantik. Tapi sayang aku tidak bersemangat untuk menyambutnya. Entahlah, aku tidak menyukai saat ini, saat dimana aku sedang berada diatas sepeda motorku diantara roda – roda kendaraan yang tidak bergerak,di antara puluhan kenalpot yang polusinya dapat menusuk paru – paru, dan juga diantara bisingnya klakson – klakson yang berbunyi mulai dari “tet..” sampai “teeeeeeeeeeeetttt…” ditambah teriknya sinar mentari yang membuat kulitku terbakar dan terasa perih. Ya, seperti inilah keadaannya setiap kali menjelang Idul Fitri, aku mesti rela untuk berpanas – panas ria bersama para pemudik lainnya. Tapi aku sangat menantikan datangnya hari ini, hari di mana aku bisa kembali ke kampung halamanku, berkumpul bersama dengan sanak saudara dan juga sahabat – sahabat kecilku. Hal itulah yang membuatku tidak perduli dengan semua keadaan ini.
Jogyakarta, di
Aku kembali melanjutkan perjalananku yang masih cukup panjang. Tak terbayang sakitnya badan terutama punggung dan pinggangku. Sebenarnya aku ingin mudik dengan kereta api karena sepertinya bisa lebih santai sambil menikmati pemandangan alam pedesaan dengan deretan padi – padi di persawahan, tapi sayangnya aku kehabisan tiket. Selain itu aku melihat ratusan orang berdesak – desakkan di stasiun dan kereta, ada yang sampai mengorbankan dirinya tidur di lantai stasiun yang hanya beralaskan koran, bahkan ada yang nekat naik ke atas gerbong kereta, mereka sama sekali tidak memikirkan keselamatan diri mereka sendiri. Yang paling membuatku tidak tega adalah anak – anak kecil yang terlihat lelah dan menderita karena tergencet oleh orang – orang dewasa. Aku tidak ingin membuat badanku menderita seperti itu. Akhirnya aku memutuskan mudik dengan motor kesayanganku, meskipun aku tetap menderita akibat jalanan yang macet. Tapi aku mencoba menganggap keadaan seperti ini adalah suatu sensasi dari mudik Idul Fitri yang hanya setahun sekali terjadinya
Setelah berjam – jam kulalui dan setelah berkilo – kilometer aku lewati, akhirnya tiba juga aku di
Tak ku sangka aku menginjakkan kakiku di tanah ini lagi, di tanah yang menjadi tempat pertama kali aku belajar berjalan. Tak tahan rasanya membendung rasa rindu ini saat ku lihat sosok wanita tua yang sedang menyapu daun – daun kering yang jatuh dari pohonnya, aku berlari dan membentangkan kedua tanganku untuk siap – siap memeluknya sambil berteriak “ibuuuuu…” Adik – adikku mengetahui kedatanganku, mereka cepat – cepat menyambutku. Kami melepas kerinduan bersama di ruang keluarga, saatlah aku teringat oleh ayahku, sedih rasanya melewati lebaran tiga tahun ini tanpa kehadiran ayah. Meskipun begitu ayah tetap berada dihati kami.
Keesokkan harinya aku mengajak ibu dan adik – adikku ke Malioboro untuk membeli baju serta sepatu buat Lebaran. Rasanya senang sekali,sudah lama kami tidak pernah pergi bersama. Aku teringat pada toko yang dulu sering aku kunjungi, disana barangnya bagus – bagus harganya pun tidak terlalu mahal karena bisa ditawar. Tokonya masih saja selalu ramai oleh pengunjung. Kemudian ibuku mengajak kami ke pasar untuk membeli bahan – bahan kue. Ibuku ingin membuat kue – kue buat Lebaran nanti dan juga ingin membeli nangka untuk dibuat gudeg. Aku senang sekali karena ternyata ibuku masih mengigat gudeg nangka adalah makanan favoritku. Tanpa aku sadari ternyata diam – diam aku merindukan suasana seperti ini, berdiri diam di tengah – tengah kerumunan orang dengan percakapan dan logat Jawa yang kurindukan saat terjadinya tawar menawar harga antara pembeli dan penjual.
Setibanya dirumah aku membantu ibuku membersihkan nangka untuk dimasak menjadi gudeg, sementara adik – adikku membuat kue – kue kering seperti nastar, castengel, putri salju, dll. Aku ingin sekali membantu membuat kue tapi mereka tidak mengizinkan, karena menurut mereka itu adalah pekerjaan perempuan jadi laki – laki tidak boleh ikut campur disitu, sebenarnya itu bukan alasan karena tidak ada hukum yang melarang laki – laki untuk membuat kue. Yang menjadi alasan mereka kalau aku ikutan pasti rasa kuenya tidak enak dan bentuknya tidak karuan, gak jelas bulet atau lonjong, lebih mirip penyok – penyok atau lebih tepatnya gak berbentuk kue sama sekali. Atau kalau aku bantu memanggang kuenya pasti mereka berfikir pasti angus, soalnya tahun – tahun kemarin memang seperti itu jadinya. Mereka sungguh tidak menerima niat baikku. Kalau begitu aku putuskan untuk membantu menghabiskanya saja.
Tiga hari sebelum Lebaran aku, ibu, dan adik – adikku pergi ke makam ayah yang letaknya tidak terlalu jauh dari rumahku. Aku berjanji pada ayahku untuk menjaga ibu dan adik – adikku. Sepulang dari makam ayah, ibuku mengajak aku ke pasar untuk berbelanja bahan – bahan masakkan untuk dimasak saat Lebaran nanti, karena saat itulah semua sanak keluarga berkumpul. Kami memang memilki tradisi berkumpul bersama sanak keluarga seperti itu setiap Lebaran, selain untuk bersilaturahmi, melepas rindu, juga dapat mempererat tali persaudaraan. Maklum rumah kami jauh – jauh banyak yang tinggal di luar kota, jadi jarang sekali bisa berkumpul dan bertemu. Karena itu kami sangat memanfaatkan libur Idul Fitri yang cukup panjang untuk berkumpul di salah satu rumah keluarga, dan kebetulan Idul Fitri kali ini semua keluarga sepakat berkumpul di rumahku.
Suasana Idul Fitri yang menyenangkan,begitu akrab dan hangat,dimana semua keluarga besarku berkumpul satu atap. Tahun depan semoga kami bisa seperti ini lagi, bersama – sama menyantap makanan dan saling bertukar cerita yang membuat suasana Lebaran menjadi lebih indah dan ramai dengan tawa riang kami. Aku tidak pernah ingin melewatkan Idul Fitri tanpa keluargaku, karena itu aku tidak pernah peduli dengan padatnya kendaraan saat mudik Lebaran. Bagiku saat itulah yang terpenting dalam hidupku yang hanya dapat terjadi setahun sekali.
Lebaran hari kedua aku pergi mengunjungi rumah sahabat – sahabatku untuk bersilaturahmi, tak ku sangka sahabat – sahabat kecilku sudah menjadi orang – orang yang sukses di pekerjaannya masing – masing. Kami saling bercerita dan bertukar pengalaman – pengalaman kami ketika mulai memasukkin dunia pekerjaan.
Seminggu kemudian aku memutuskan untuk kembali ke Jakarta,
Create by Yudith Tesalonika
11107819
3 KA 04
Tidak ada komentar:
Posting Komentar